Abdullah bin Mubarak bercerita, “Ketika aku berada di Makkah,
terjadilah kemarau panjang. Maka para penduduk mencari air di Arafah.
Kemarau pun ternyata semakin panjang. Ketika hari Jumat mereka
berkumpul untuk melaksanakan shalat Jumat, dan usai melaksanakan shalat
Jumat mereka pun pergi menuju Arafah. Pada saat itu aku melihat seorang
lelaki hitam, kurus sedang melakukan shalat dua rakaat, dan setelah shalat ia
berdoa, lalu sujud sambil berkata,
“Demi kemulyaan Engkau, aku tidak akan
mengangkat kepalaku dari sujud sehingga Engkau menurunkan hujan pada
hamba-hamba-Mu.” Selepas itu, tiba-tiba aku melihat muncul segumpal
awan, lalu gumpalan itu menyatu dan turunlah hujan dengan lebat bagaikan
ditumpahkan dari mulut girbah (wadah air dari kulit). Maka orang itu
memuji Allah, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Aku pun mengikutinya
dari belakang, hingga aku melihat ia masuk ke tempat penjualan budak,
kemudian aku pulang.
Keesokan harinya aku ke tempat itu sambil membawa beberapa keeping
uang dirham dan dinar. Kemudian aku datangi penjual budak tersebut dan
berkata, “Aku perlu seorang budak untuk aku beli.” Kemudian diperlihatkan
padaku kira-kira 30 budak. “Apakah ada selain ini?” tanyaku. Si penjual
menjawab, “Masih ada satu lagi, tapi. ia tidak mau bicara pada siapa pun.”
“Perlihatkan ia padaku!” pintaku. Maka si penjual pun memperlihatkan
seorang budak yang kemarin telah kulihat dengan mataku sendiri. “Dengan
berapa aku harus membelinya?” tanyaku. “Dua puluh dinar, tetapi untuk
tuan, sepuluh dinar pun cukup”, jawab si penjual. “Tidak, bahkan aku akan
memberimu tambahan menjadi dua puluh tujuh dinar”, kataku. Setelah
kubayar, aku membawa budak itu ke rumahku. Budak itu bertanya,
“Mengapa tuan membeli saya, padahal saya tidak mampu melayani tuan?”
“Aku membelimu karena aku ingin agar kamu menjadi majikanku dan aku
menjadi pelayanmu”, jawabku. Si budak kembali bertanya, “Menganpa tuan
berbuat demikian?” Maka aku menceritakan, “Kemarin aku melihat kamu
berdoa, lalu Allah mengabulkan doamu, maka atas hal itu aku mengetahui
adanya karomah Allah padamu. “Apakah tuan benar-benar melihatnya?”
tanyanya lagi. “Ya”, jawabku. Dia berkata, “Apakah tuan akan memerdekakan
saya?” Aku jawab, “Ya, kamu merdeka karena Allah.” Tiba-tiba aku
mendengar suara tanpa wujud berkata, “Wahai Ibnu Mubarak, berbahagialah
karena Allah telah mengampunimu.
Kemudian budak tadi berwudhu dan shalat dua rakaat, lalu berkata,
“Al-Hamdu lillaah, ini kemerdekaan dari majikanku yang kecil, lalu
bagaimana dengan kemerdekaan dari Majikanku yang Agung?” Budak tadi
berwudhu dan shalat lagi, kemudian mengangkat tanganya seraya berdoa,
“Ya Allah, Engkau Maha Tahu bahwa aku telah menyembah Engkau selama
tiga puluh tahun, dan sesungguhnya perjanjian di antara kita adalah agar
Engkau tidak membuka rahasiaku, dan sekarang jika telah terbuka, maka
cabutlah nyawaku.” Tiba-tiba budak tadi jatuh ke tanah dan pingsan, lalu
meninggal dunia. Aku pun mengkafani jenazahnya dengan kain seadanya,
lalu aku menyalati dan menguburkannya. Malamnya ketika aku tidur, aku
bermimpi melihat seorang lelaki tampan dan memakai pakaian yang indah. Ia
bersama lelaki lain yang juga tampan dan mengenakan pakaian indah,
mereka bergandengan saling memegang pinggang. Kemudian lelaki tadi
berkata, “Wahai Ibnu Mubarak, apa kamu tidak malu kepada Allah?” Setelah
bertanya begitu, ia pergi. “Siapakah anda?”, tanyaku. Aku adalah
Muhammad saw., dan ini adalah Ibrahim as.,” jawabnya. Aku menjawab,
“Bagaimana saya tidak malu padahal saya memperbanyak membaca
shalawat untuk engkau.” Nabi saw. bersabda, “Telah meninggal salah
seorang wali Allah, tetapi kamu tidak mencarikan unuknya kain kafan yang
baik.” Keesokan paginya aku menggali dan mengeluarkan jenazahnya dari
kubur, kemudian mengkafaninya dengan kafan yang baik dan bersih, lalu
menshalatinya dan menguburkanya lagi.
Abul Qasim ditanya, “Manakah yang lebih baik, orang yang maksiat
kemudian taubat ataukah orang kafir yang kemudian beriman?” Dia
menjawab, “Orang yang maksiat kemudian taubat itu lebih baik, ketimbang
orang kafir yang beriman. Karena orang kafir ketika masih kafir adalah orang
lain, sedangkan orang yang maksiat ketika berbuat maksiat, ia masih
mengenal Tuhannya. Dan orang kafir ketika masuk Islam berubah dari orang
asing menjadi orang yang dikenal. Sementara orang yang maksiat dari orang
yang dikenali berubah menjadi orang yang disayang. Sebagaimana firman
Allah Swt., “Dan Allah menyukai orang yang bertaubat.” Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar